Kamis, 26 Maret 2009

Plankton Reduksi Emisi Gas Karbon

Plankton Reduksi Emisi Gas Karbon

Oleh: Yuni Ikawati

Menjelang Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bali pada Desember mendatang, perhatian dunia terarah ke Indonesia. Ironisnya, yang diperhatikan adalah "sumbangan" negara pemilik hutan terluas kedua di dunia ini dalam mengotori atmosfer dengan gas karbon dioksida.

Padahal, dengan hutannya, Indonesia dapat mereduksi emisi gas karbon dioksida (CO2)— salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global—dengan hutannya dan dengan biota lautnya yang begitu melimpah.

Selama ini kawasan hutan disebut-sebut sebagai paru-paru dunia pemeran utama penyerapan gas CO2. Pelestarian hutan menjadi tuntutan terdepan para pencinta lingkungan untuk menyelamatkan bumi.

Namun sebenarnya bukan hanya hutan yang mampu menyerap CO2. Laut juga merupakan sebuah ekosistem yang mampu mereduksi CO2 melalui plankton yang hidup di dalamnya.

Di dalam laut tersembunyi biota laut penyerap karbon yang potensial. Biota laut itu di antaranya adalah jenis alga (algae) dan plankton—disebut juga mikroalga.

Penelitian tentang tingkat serapan CO2 oleh jasad renik dan tumbuhan di laut belum banyak dilakukan. Yang merintis penelitian itu di antaranya Jepang, yang melakukan penelitian rumput laut beberapa tahun terakhir ini. Kini ada sekitar 11 negara yang tertarik melakukan penelitian yang sama. "Indonesia sendiri juga akan melakukan riset daya serap gas karbon oleh rumput laut itu, mulai tahun ini," ujar Jana T Anggadiredja, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pakar rumput laut.

Pihak BPPT telah menyusun Peta Jalur atau Roadmap Rekayasa Atmosfer yang salah satunya akan mengangkat topik itu untuk mengatasi pemanasan global atau perubahan iklim.

Dalam riset tentang peran laut dalam menyerap gas karbon tersebut, juga akan dilihat kemampuan berbagai mikro alga dan spons mereduksi CO2 dari udara. Penelitian ini akan melibatkan lembaga riset terkait, seperti Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Riset karbon

Penelitian tentang pengendapan karbon di perairan secara alami atau carbon sink sebenarnya telah dilakukan dua tahun lalu di Indonesia. Menurut Rahmania Amirasari, peneliti fitoplankton di Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, riset itu dilakukan BPPT di Sungai Brantas dan di Teluk Jakarta.

"Di Jakarta, dilakukan penelusuran aliran air dari estuari sampai ke muara sungai di Teluk Jakarta, dan diteliti dinamika kelautan yang terjadi, termasuk peran biota di dalamnya, di antaranya peran fitoplankton," ujar Rahmania, yang menyelesaikan program doktor bidang Ekologi Laut dari Universitas Bremen Jerman.

Selama ini penelitian fitoplankton BPPT sejak tahun 1997 bertujuan mendeteksi adanya kelimpahan populasi alga (algae blooming). Selama ini ledakan perkembangbiakan alga ini selalu dikaitkan dengan pencemaran zat organik di perairan. Kini peneliti melihat kemungkinan lain terjadinya fenomena itu yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan anomali cuaca.

Rahmania melihat di Indonesia prospek fitoplakton sebagai tumbuhan air yang menyerap karbon sangat besar. Wilayah laut Indonesia meliputi 70 persen dari total wilayahnya sehingga kandungan biomassanya jauh lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan di darat.

Mulai tahun 2008, melalui program yang disebut Global Warming dibentuk beberapa kelompok penelitian, meliputi pengaktifan CO2 sink, pemodelan dan mitigasi bencana cuaca, teknologi modifikasi cuaca, dan penyusunan kebijakan terkait pemanasan global.

Khusus pada kelompok yang melakukan pengaktifan CO2 sink akan dikembangkan teknik rekayasa "pohon buatan" dan penyerapan CO2 secara biologis (biological pumping) oleh fitoplankton. "CO2 ini diserap fitoplankton untuk pertumbuhan dan mereproduksi diri," katanya.

Pengambilan CO2 di daerah daratan mencapai hingga satu giga ton per tahun. Di laut jumlahnya dua kali lipat. Daya serap CO2 oleh fitoplankton saja bisa 200 kali lipat dibandingkan penyerapan oleh tumbuhan darat.

Di lautan terdapat ratusan jenis fitoplankton. Akibatnya, potensi Indonesia mengisap CO2 di laut sangat tinggi. "Ini dapat dimasukkan dalam perhitungan Neraca CO2 dan diajukan untuk ’perdagangan karbon’ negara maju," kata Jana.

Sementara itu, penelitian di University of New Zealand menunjukkan, satu miligram klorofil fitoplakton dapat menyerap 1,65 miligram CO2.

Ketika gas karbon mengendap ke permukaan air, maka akan berubah menjadi dua, yaitu karbon organik partikulat dan karbon organik terurai. Karbon partikulat akan tenggelam ke dasar laut. Sebagian lainnya akan dimakan biota laut.

Hasil dekomposisi oleh organisme ini kemudian terangkat lagi oleh arus naik dan menjadi santapan plankton. Begitulah daur pemanfaatan karbon di perairan. Fitoplankton yang mati dan tenggelam di dasar laut selanjutnya akan didegradasi oleh bakteri menjadi kalsium karbonat.

Fitoplankton termasuk organisme renik—berukuran sekitar 20 mikron—bersel tunggal dan bergerak mengikuti arus laut. Biota berklorofil ini menjadi santapan organisme lainnya yang lebih besar, seperti zooplankton dan ikan.

Meskipun daya serap gas karbon di perairan cukup tinggi, polusi CO2 sampai tingkat tertentu di udara dapat berdampak negatif bagi kehidupan biota laut. Seperti di darat, tingginya emisi CO2 dapat menaikkan tingkat keasaman air laut yang bersifat korosif sehingga berdampak negatif bagi lingkungan kelautan, antara lain akan mengikis lapisan luar terumbu karang jenis Emiliana yang berbentuk bulat.

Foto bioreaktor

Untuk meningkatkan sistem penyerapan karbon di Indonesia, BPPT akan mengembangkan teknik pengembangbiakan fitoplankton yang disebut Foto Bio Reactor. Untuk itu akan dicari jenis fitoplankton yang memiliki pertumbuhan yang cepat, seperti Chaetoceros dan Skeletonema.

Menurut Rahmania, daya serap fitoplankton dibandingkan dengan rumput laut dalam kurun waktu yang sama lebih besar karena siklus hidup plankton lebih cepat. Dengan demikian prospeknya lebih baik dibandingkan dengan rumput laut.

Tujuan riset ini untuk mengetahui tingkat penyerapan CO2 dari spesies fitoplankton tersebut. "Dari kultur pada bioreaktor ini dapat diketahui spesies yang unggul," ujar Rahmania. Target selanjutnya adalah mengembangkan desain reaktor untuk mendapatkan siklus hidup fitoplankton yang lebih panjang. Selain itu dikembangkan tangki untuk panen.

Pembangunan pabrik skala laboratorium di Serpong yang melibatkan LIPI dan IPB akan dimulai Januari tahun depan dan diperkirakan akan mulai beroperasi Juni 2008.

Penelitian yang menyerap dana sekitar Rp 500 juta ini akan berlangsung hingga tahun 2010. Selanjutnya BPPT merencanakan pengembangan fitoplankton air tawar.

Pengembangan foto bioreaktor ini akan mengacu pada teknik yang dikembangkan di Jerman. Di Universitas Bremen bioreaktor yang diisi fitoplankton diterapkan untuk menyerap CO2 hasil pembakaran pada pembangkit listrik tenaga batubara.

Untuk kapasitas 5.000 ton per hari, CO2 yang diserap mencapai satu persennya. Pada tahap pertama daya serapnya 500 ton gas karbon per tahun. Pengembangan teknologi ini targetnya 15.000 ton CO2 per tahun.

Di Jerman, penggunaan fitoplankton pada bioreaktor diterapkan pada kendaraan disebut green box, untuk mereduksi emisi karbon dari knalpot.

Di Norwegia penyerapan karbon di perairan menggunakan kantong plastik hampa udara yang ditempatkan di permukaan laut, sedangkan di AS digunakan sistem pemompaan berdasarkan gelombang untuk membuat ledakan pertumbuhan fitoplankton. Hal ini membuat massa air naik buatan sehingga CO2 terserap.

Melihat prospek pemanfaatan sumber daya hayati kelautan yang cerah, maka Indonesia memiliki alternatif dalam upaya menyerap gas rumah kaca dan dapat berperan dalam menekan dampak perubahan iklim serta pemanasan global di masa mendatang.

"Saat ini serapan laut belum menjadi bagian yang diperhitungkan untuk mereduksi emisi gas karbon di udara. Pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup akan mengusulkan pembahasan hal itu dalam Working Group pada pertemuan tentang perubahan iklim di Bali," ujar Jana.

Sumber: Kompas Cyber Media

1 komentar: