Kamis, 02 April 2009

Kelak Pemandangan Seperti Ini Hanya Dapat Anda Lihat Di Foto ini

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.508 pulau, dengan sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang berpenduduk. Indonesia secara keseluruhan juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yakni 81.000 km yang merupakan 14% dari garis pantai yang ada di seluruh dunia. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, atau mendekati 70% dari luas keseluruhan negara Indonesia.

Terumbu karang di Indonesia ditemui sangat berlimpah di wilayah kepulauan bagian timur (meliputi Bali, Flores, Banda dan Sulawesi). Namun juga terdapat di perairan Sumatera dan Jawa. Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi (terumbu karang tepi, penghalang dan atol). Namun tipe terumbu karang yang dominan di Indonesia ialah terumbu karang tepi.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan terumbu karang terluas di dunia, yakni mencapai 51.000 kilometer persegi atau 20 % dari luas terumbu karang dunia. Namun lima puluh persen terumbu karang di Indonesia, dinilai dalam kondisi rusak parah.
Rusaknya terumbu karang dikarenakan oleh beberapa faktor:

Penangkapan ikan dengan cara yang merusak meliputi penggunaan dinamit sebagai alat pengebom, penggunaan sianida sebagai racun,
teknik muro-ami dan jaring penangkap ikan merusak (contohnya bubu). Pengeboman terumbu karang dengan maksud mendapatkan ikan merupakan praktek yang umum di seluruh laut Indonesia.
Sianida sebagai racun sering digunakan untuk menangkap ikan-ikan ornamental (untuk hiasan akuarium laut) di banyak wilayah di Indonesia.

Aktivitas kapal dari nelayan dan kegiatan olahraga air serta wisata bahari juga menyebabkan kerusakan terumbu karang, melalui jaring tangkap yang digunakan oleh nelayan,
pembuangan jangkar kapal dan aktivitas berjalan-jalan di atas karang yang merupakan hasil dari kegiatan wisata bahari.

Bencana alam seperti gempa bumi, perubahan suhu laut (El Nino), gelombang, dan masih banyak lagi.

Dengan hancurnya terumbu karang banyak sekali pengaruh negatif yang akan kita terima seperti: terjadinya abrasi pantai, gelombang besar, semakin berkurangnya populasi ikan hias.
Dan butuh bertahun-tahun untuk memperbaikinya.

Selasa, 31 Maret 2009

Perubahan Iklim Global Ancam Perikanan Kita

Akhir-akhir ini hampir semua media massa di negeri ini memberitakan kondisi iklim yang tidak menentu. Tiap hari hujan lebat melanda Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Gelombang laut yang tingginya berkisar 3-5 meter dan badai terjadi di Laut Jawa, Laut Cina Selatan, Banda, Flores dan perairan lainnya di Indonesia. Akibatnya, mengganggu arus pelayaran antar pulau di Indonesia dan nelayan takut melaut. Kapal dan perahu pun diparkir di tepi pantai. Berbagai ahli klimatologi mensinyalir kondisi alam ini akibat perubahan iklim global.
Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional. Berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun regional untuk menghadapi ancaman itu. Terakhir, pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali. Pertemuan World Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 di Manado juga mengagendakannya. Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak serius terhadap kehidupan nelayan tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua fenomena ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut.
Kenaikan suhu air laut, pertama, memengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian Ove Hoegh-Guldberg yang dipublikasikan di jurnal Science edisi Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Bahkan, memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnakan 98 persen terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali nantinya di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan.Pulau-pulau TenggelamKedua, terputusnya rantai makanan. Gretchen Hofmann (2008), Profesor Biologi dari University of California, Santa Barbara menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman) akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni organisme pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon, mackerel, herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi daya di wilayah pesisir.
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). Akibatnya, nelayan pembudi daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber kehidupannya.
Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, walaupun perlu riset mendalam. Menurunnya produktivitas udang secara drastis di kawasan itu disinyalir salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim global. Tak hanya itu, naiknya permukaan laut akan menghancurkan kawasan permukiman nelayan yang berlokasi di desa-desa pesisir. Terjadinya fenomena rob yang menggenangi pesisir Teluk Jakarta beberapa waktu lalu adalah fakta empiris. Dampak lanjutannya adalah mewabahnya penyakit menular jenis disentri atau tipes.
Ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan gelombang laut yang tinggi disertai badai/angin topan. Di Maluku, misalnya, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Tak hanya itu, infrastruktur pedesaan pesisir akan mengalami kehancuran akibat hantaman gelombang maupun badai topan. Para ahli meramalkan pulau-pulau kecil di Pasifik maupun Karibia akan tenggelam akibat kenaikan permukaan laut yang terus meningkat dalam kurun waktu lama.
Ini tak hanya menimbulkan problem demografi akibat kehilangan permukiman, melainkan juga akan memusnahkan spesies endemin di perairan sekitar pulau maupun yang hidup dalam pulau itu. Bahkan, infrastruktur ekonomi maupun sosial yang mendukung kehidupan nelayan akan mengalami hal yang sama (IPCC, 2007). Umpamanya, pelabuhan perikanan, cold strorage, dan kapal ikan. Akibatnya, nelayan penangkap maupun pembudi daya ikan di wilayah pesisir akan miskin selamanya. Diplomasi IklimPenyumbang terbesar dari perubahan iklim global yakni meningkatnya kadar karbon dioksida yang diproduksi oleh industri berbahan bakar fosil (migas dan batu bara), dan kendaraan bermotor. Industrialisasi berbahan bakar ini terutama terjadi di negara-negara maju yang memproduksi barang-barang konsumsi elektronik, dan makanan kaleng, senjata, industri berat dan kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China dan India. Mereka enggan menandatangani emisi penurunan karbon, sehingga membebankannya pada negara berkembang yang secara ekonomi morat-marit.
Negara berkembang umumnya memiliki sumber daya alam hutan dan lautan yang mampu memproduksi oksigen (udara bersih) dari proses fotosintesis. Hutan dan lautan yang memiliki terumbu karang mengikat karbon dalam proses serupa. Asumsinya, karbon dioksida yang dihasilkan negara maju akan berkurang. Padahal, siapa yang menjamin hal itu. Dalam konteks ini, negara maju mempraktikkan politik ”Bad Samaritan” atas sumber daya alam negara berkembang, meminjam istilah Ha-Joon Chang (2007).
Bad Samaritan adalah negara maju mendapatkan keuntungan dari penderitaan negara berkembang yang ditekan untuk tak memanfaatkan sumber daya alamnya dengan dalih demi keberlanjutan ekologis maupun umat manusia. Padahal, negara maju sudah menjerat leher negara berkembang dengan utang maupun politik perdagangan bebas yang tidak adil.
Makanya, negara berkembang semacam Indonesia yang memiliki nelayan sekitar 11 juta jiwa perlu melakukan ”politik diplomasi iklim” untuk menyelamatkan mereka dari tekanan negara maju yang menindas. Politik diplomasi itu adalah meminta negara maju agar menandatangani penurunan emisi gas rumah kaca dan mengurangi aktivitas industrialisasinya jika mau menyelamatkan bumi dan umat manusia. Jika tidak, negara-negara berkembang berhak menolak produk-produk negara maju yang diproduksi dari pabrik berbahan bakar fosil. Selain itu, tak perlu tunduk pada hegemoni negara maju untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam (misalnya hutan, laut dan perikanan) karena mengandung unsur ketidakadilan.
Momentum WOC, hemat saya merupakan ajang bagi Indonesia untuk melakukan ”politik diplomasi iklim” dengan negara maju agar 11 juta nelayan yang menangkap ikan di laut seluas 5,8 juta km persegi serta membudidayakan ikan dan udang dalam rentang garis pantai 81.000 km selamat. Jika tidak, Indonesia akan mengalami penjajahan ekologis (eco-colonialism) secara tragis. Sumber daya alamnya mengalami degradasi serius dibarengi kemiskinan nelayan akibat perubahan iklim yang bersumber dari ulah negara maju.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Pengirim :MUKHTAR, A.Pi, M.Si Kepala Satker PSDKP Kendari
Email : mukhtar_api@yahoo.co.id
Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com/
Web Site : www.p2sdkpkendari.com
Forum : http://asia.groups.yahoo.com/group/Illegal_Fishing_Indonesia/join

INDONESIA LEBIH AKTIF TURUT MENGELOLA PERIKANAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

Dalam rangka melaksanakan komitmen Indonesia untuk mendukung pengelolaan dan konservasi perikanan tunasecarabertanggung jawabdan berkelanjutan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tahunan ke-13 Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal DKP, Widi A. Pratikto mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan saat mebuka pertemuan tahunan ke-13 IOTC di Bali (30/3).

Indonesia resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007. MasuknyaIndonesia menjadi full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 Tahun 2004 Pasal 10 (2)yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan. IOTC merupakan salah satu Regional Fisheries Management Organization (RFMO), yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional dibawah FAO, yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah Samudra Indonesia. Saat ini dikawasan perikanan Indonesia terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna,Albacore Tuna,Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna,Narrow Barred Spanish Mackerel,Indo Pacific King Mackerel,Indo Pacific Blue Marlin,Black Marlin,Strip Marlin,Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish.

Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak27 negara full member dan 3 negara cooperating non-contracting parties, dimana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Sebagai anggota ke-27, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain:(1) program revitalisasi perikanan tuna,(2) penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan Active Vesselatau kapal yang aktif dan resmi melakukan penangkapan tuna, (3)penyusunan Peraturan Menteri No PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas, (4) persiapan penerapan Log Book perikanan,(5) program outer fishing portatau pelabuhan perikanan terluar; dan (6) bersama Australia menyusun Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices (including Combating IUU Fishing) in the Region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab termasuk pemberantasan illegal fishing.


Sebagai full member IOTC,Indonesiamempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high seas)dengan kewajiban melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan Indonesia yang melakukan kegiatan di laut lepas. Keragaan armada perikanan Indonesiayang terdaftar di IOTC hingga tahun 2008adalah874 kapal, terdiri dari 871 kapal longline dan 3 kapal purse seinedi Samudera Hindia. Sedangkan jumlah tangkapan dari kapal-kapal Indonesia yang terdaftar di IOTC pada tahun 2007 mencapai 252,227 ton, atau 24,1 % dari 104.673,7 ton tangkapan tuna Indonesia.

Dalam pertemuan tahunan IOTC ke-13 ini akan diikuti oleh anggota IOTC, FAO dan pengamat sekitar 200 orang, Indonesia memiliki momentum untuk memperoleh hal-hal yang positif, yaitu:(1) Aspek nasional, mendukung kebijakan nasional bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan termasuk upaya pemanfaatan dan pengawasan shared fish stocks, (2) Aspek internasional,memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara Pihak pada UNCLOS 1982 dalam kerjasama internasional bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, (3) Aspek teknis ekonomi, memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya shared fish stocks di laut lepas oleh Indonesa, tersedianya bantuan teknis dan finansial dari RFMOs, merupakan pasar dunia produk perikanan Indonesia, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia yang diambil dari wilayah konvensi RFMOs oleh negara-negara anggotaRFMOs, (4) Aspek lingkungan, sebetulnya kelangsungan sumberdaya tuna di Samudra Indonesia termasuk terancam oleh tingginya permintaan tuna di pasar dunia, pertumbuhan yang tinggi jumlah armada tuna di Samudra Hindia, serta maraknya illegal fishing.Dengan demikian maka pada sidang tersebut merupakan forum untuk memperjuangkan menghadapi masalah tersebut.

Oleh karenanya, walaupun pada sidang IOTC ke-12 sebelumnya telah disepakati tentang kewajiban perbaikan statistik pencatatan hasil tangkap dan pengurangan hasil samping penangkapan, serta program transhipment skala besar, namun dalam sidang IOTC ke-13 kali ini harus diperjuangkan sanksi yang tegas bagi pelaku illegal fishing, pengaturan transhipment di laut serta pengawasan di pelabuhan (port state measure).***

Jakarta, 30 Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan
Informasi

ttd

Soen’an H. Poernomo

Narasumber:
Dr. Suseno (Ketua Delegasi Indonesia/Staf Ahli MKP Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya DKP) HP.08111550025
Ir. Nilanto Perbowo, M.Sc (Wakil Ketua Delegasi Indonesia/Direktur Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap DKP) HP.08161999878
Mohon agar narasumber dapat dihubungi pada tanggal 30 Maret s/d 3 April 2009 pada pukul.12.00-14.00 WITA dan 17.00-19.00 WITA atau 11.00-13.00 WIB dan 16.00-18.00 WIB
Data Dukung:
Perkembangan produksi tuna dan cakalang tahun 2004-2007 (dalam ton) Komoditas 2004 2005 2006 2007 Tuna 176.996 183.144 159.404 191.558 Cakalang 233.319 252.232 277.388 697.166
Perkembangan nilai produksi tuna dan cakalang tahun 2004-2007 (dalam ribu) Komoditas 2004 2005 2006 2007 Tuna 1.408.573.435 1.671.657.361 1.462.929.440 2.163.880.056 Cakalang 1.485.336.212 1.792.892.438 2.141.892.438 5.462.848.498
Volume dan Nilai Ekspor Tuna/Cakalang Indonesia di Pasar Produktif, 2005 - 2008 No. Negara Tujuan Tahun Kenaikan Rata-rata (%), 2005 - 2008 2005 2006 2007 2008*) Volume (Ton) Nilai (US$ 1000) Volume (Ton) Nilai (US$ 1000) Volume (Ton) Nilai (US$ 1000) Volume (Ton) Nilai (US$ 1000) Volume Nilai
Jepang 30 256 108 835 21 657 76 250 31 330 112 668 26 271 111 081 0,03 5,47
Amerika Serikat 21 773 60 925 4 182 14 946 21 375 73 565 19 190 72 343 106,70 105,03
Uni Eropa 16 708 32 468 2 416 7 151 12 610 25 800 12 879 35 029 112,84 72,86
Negara Lainnya 21 852 44 075 63 567 152 220 56 001 92 315 67 593 119 443 66,57 78,47 Total 90 589 245 375 91 822 250 567 121 316 304 348 125 933 337 896 12,43 11,53 Sumber : BPS, diolah oleh Ditjen P2HP Keterangan: *) Angka Sementara

Jumat, 27 Maret 2009

Musim penangkapan Ikan Pelagis Besar

Wilayah Pengelolan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia

Di kawasan timur Indonesia, puncak musim penangkapan ikan cakalang pada umumnya berkisar pada musim peralihan I (April, Mei, dan Juni) hingga awal musim timur. Di Maumere (NTT), puncak musim terjadi pada Februari dan November, yaitu akhir musim barat dan akhir musim peralihan II.Kisaran bulan-bulan musim penangkapan ikan tuna dan cakalang dengan menggunakan alat tangkap rawai tuna sebagai berikut :Perairan Selat Makassar bagian selatan (Maret-Juli) Laut Flores (September-Maret) Laut Banda (September- Maret) Perairan Aru (September-Maret) Laut Arafura (Agustus-Mei) Laut Seram (Agustus-Maret) Laut Maluku (Agustus-Maret) Teluk Tomini (Oktober-April) Perairan Laut Banda yang kedalamannya mencapai 10.000 m merupakan salah satu daerah penangkapan ikan tuna (terutama ikan tuna mata besar) di kawasan timur Indonesia. Musim penangkapan di perairan Laut Banda mencapai puncaknya pada bulan November.Wilayah

Pengelolaan Perikanan di Kawasan Barat Indonesia

Penyebaran ikan-ikan tuna di kawasan barat Indonesia terutama terdapat di Samudera Hindia. Di perairan ini terjadi percampuran antara perikana tuna lapisan dalam yang dieksploitasi dengan alat rawai tuna dengan perikana tuna permukaan yang dieksploitasi menggunakan alat tangkap pukat cincin, gillnet, tonda, dan payang.Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna secara umum dilakukan dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda. Jenis ikan yang banyak tertangkap di wilayah ini adalah cakalang dan madidihang. Hasil analisis data produksi menyebutkan bahwa titik tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Ini berarti, puncak musim penangkapan ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap tonda di perairan barat Sumatera terjadi pada bulan Oktober.Di Bengkulu, jenis ikan tongkol dan tengiri cukup mendominasi produksi perikanan setempat. Musim penangkapan ikan tongkol di wilayah Bengkulu berlangsung antara bulan September sampai Januari dan puncaknya terjadi pada bulan November.Data dan informasi musim penangkapan sumberdaya ikan pelagis besar untuk perairan Samudera Hindia di wilayah selatan Jawa dan Nusa Tenggara diperoleh dari basis penangkapan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu (Jawa Barat), Pelabuhan Perikanan Nusantara Cilacap (Jawa Tengah), dan Pelabuhan Benoa (Bali).Ikan pelagis besar yang tertangkap di Pelabuhanratu didominasi oleh ikan cakalang dan tongkol yang banyak tertangkap oleh alat tangkap jaring insang hanyut. Berdasarkan data yang diperoleh, diduga bahwa musim penangkapan ikan cakalang dan tongkol di wilayah perairan selatan Jawa berlangsung antara Juni sampai Oktober dan puncaknya terjadi pada Agustus-September.Di Bali, alat tangkap utama yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar yang berpangkalan di Benoa adalah rawai tuna. Namun, masih ada alat lain yang digunakan dalam pemanfataan sumberdaya ikan pelagis besar yaitu pancing tonda yang dioperasikan dengan perahu jukung dan diberi motor tempel dengan kekuatan 12 PK.Ikan tuna sirip biru adalah jenis ikan tuna yang punya nilai paling tinggi. Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan biasanya bermigrasi ke perairan selatan Jawa dan Bali, dan umumnya nelayan menangkap ketika berada dalam kondisi memijah pada November dan Januari. Tingginya nilai tuna sirip biru menyebabkan ikan ini menjadi target penangkapan terutama oleh armada Jepang, Taiwan, Korea, Selandia Baru,dan Australia.Disarikan dari *Balai Riset Penangkapan Laut - BRKP

Kamis, 26 Maret 2009

Daftar Artikel Pada Menu Taukah Kamu

  1. Plankton Reduksi Emisi Gas Karbon
  2. Ikan Ternyata Suka Cahaya Biru dan Merah
  3. Kelak Pemandangan Seperti Ini Hanya Dapat Anda Lihat Di Foto Ini

Plankton Reduksi Emisi Gas Karbon

Plankton Reduksi Emisi Gas Karbon

Oleh: Yuni Ikawati

Menjelang Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bali pada Desember mendatang, perhatian dunia terarah ke Indonesia. Ironisnya, yang diperhatikan adalah "sumbangan" negara pemilik hutan terluas kedua di dunia ini dalam mengotori atmosfer dengan gas karbon dioksida.

Padahal, dengan hutannya, Indonesia dapat mereduksi emisi gas karbon dioksida (CO2)— salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global—dengan hutannya dan dengan biota lautnya yang begitu melimpah.

Selama ini kawasan hutan disebut-sebut sebagai paru-paru dunia pemeran utama penyerapan gas CO2. Pelestarian hutan menjadi tuntutan terdepan para pencinta lingkungan untuk menyelamatkan bumi.

Namun sebenarnya bukan hanya hutan yang mampu menyerap CO2. Laut juga merupakan sebuah ekosistem yang mampu mereduksi CO2 melalui plankton yang hidup di dalamnya.

Di dalam laut tersembunyi biota laut penyerap karbon yang potensial. Biota laut itu di antaranya adalah jenis alga (algae) dan plankton—disebut juga mikroalga.

Penelitian tentang tingkat serapan CO2 oleh jasad renik dan tumbuhan di laut belum banyak dilakukan. Yang merintis penelitian itu di antaranya Jepang, yang melakukan penelitian rumput laut beberapa tahun terakhir ini. Kini ada sekitar 11 negara yang tertarik melakukan penelitian yang sama. "Indonesia sendiri juga akan melakukan riset daya serap gas karbon oleh rumput laut itu, mulai tahun ini," ujar Jana T Anggadiredja, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pakar rumput laut.

Pihak BPPT telah menyusun Peta Jalur atau Roadmap Rekayasa Atmosfer yang salah satunya akan mengangkat topik itu untuk mengatasi pemanasan global atau perubahan iklim.

Dalam riset tentang peran laut dalam menyerap gas karbon tersebut, juga akan dilihat kemampuan berbagai mikro alga dan spons mereduksi CO2 dari udara. Penelitian ini akan melibatkan lembaga riset terkait, seperti Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Riset karbon

Penelitian tentang pengendapan karbon di perairan secara alami atau carbon sink sebenarnya telah dilakukan dua tahun lalu di Indonesia. Menurut Rahmania Amirasari, peneliti fitoplankton di Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, riset itu dilakukan BPPT di Sungai Brantas dan di Teluk Jakarta.

"Di Jakarta, dilakukan penelusuran aliran air dari estuari sampai ke muara sungai di Teluk Jakarta, dan diteliti dinamika kelautan yang terjadi, termasuk peran biota di dalamnya, di antaranya peran fitoplankton," ujar Rahmania, yang menyelesaikan program doktor bidang Ekologi Laut dari Universitas Bremen Jerman.

Selama ini penelitian fitoplankton BPPT sejak tahun 1997 bertujuan mendeteksi adanya kelimpahan populasi alga (algae blooming). Selama ini ledakan perkembangbiakan alga ini selalu dikaitkan dengan pencemaran zat organik di perairan. Kini peneliti melihat kemungkinan lain terjadinya fenomena itu yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan anomali cuaca.

Rahmania melihat di Indonesia prospek fitoplakton sebagai tumbuhan air yang menyerap karbon sangat besar. Wilayah laut Indonesia meliputi 70 persen dari total wilayahnya sehingga kandungan biomassanya jauh lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan di darat.

Mulai tahun 2008, melalui program yang disebut Global Warming dibentuk beberapa kelompok penelitian, meliputi pengaktifan CO2 sink, pemodelan dan mitigasi bencana cuaca, teknologi modifikasi cuaca, dan penyusunan kebijakan terkait pemanasan global.

Khusus pada kelompok yang melakukan pengaktifan CO2 sink akan dikembangkan teknik rekayasa "pohon buatan" dan penyerapan CO2 secara biologis (biological pumping) oleh fitoplankton. "CO2 ini diserap fitoplankton untuk pertumbuhan dan mereproduksi diri," katanya.

Pengambilan CO2 di daerah daratan mencapai hingga satu giga ton per tahun. Di laut jumlahnya dua kali lipat. Daya serap CO2 oleh fitoplankton saja bisa 200 kali lipat dibandingkan penyerapan oleh tumbuhan darat.

Di lautan terdapat ratusan jenis fitoplankton. Akibatnya, potensi Indonesia mengisap CO2 di laut sangat tinggi. "Ini dapat dimasukkan dalam perhitungan Neraca CO2 dan diajukan untuk ’perdagangan karbon’ negara maju," kata Jana.

Sementara itu, penelitian di University of New Zealand menunjukkan, satu miligram klorofil fitoplakton dapat menyerap 1,65 miligram CO2.

Ketika gas karbon mengendap ke permukaan air, maka akan berubah menjadi dua, yaitu karbon organik partikulat dan karbon organik terurai. Karbon partikulat akan tenggelam ke dasar laut. Sebagian lainnya akan dimakan biota laut.

Hasil dekomposisi oleh organisme ini kemudian terangkat lagi oleh arus naik dan menjadi santapan plankton. Begitulah daur pemanfaatan karbon di perairan. Fitoplankton yang mati dan tenggelam di dasar laut selanjutnya akan didegradasi oleh bakteri menjadi kalsium karbonat.

Fitoplankton termasuk organisme renik—berukuran sekitar 20 mikron—bersel tunggal dan bergerak mengikuti arus laut. Biota berklorofil ini menjadi santapan organisme lainnya yang lebih besar, seperti zooplankton dan ikan.

Meskipun daya serap gas karbon di perairan cukup tinggi, polusi CO2 sampai tingkat tertentu di udara dapat berdampak negatif bagi kehidupan biota laut. Seperti di darat, tingginya emisi CO2 dapat menaikkan tingkat keasaman air laut yang bersifat korosif sehingga berdampak negatif bagi lingkungan kelautan, antara lain akan mengikis lapisan luar terumbu karang jenis Emiliana yang berbentuk bulat.

Foto bioreaktor

Untuk meningkatkan sistem penyerapan karbon di Indonesia, BPPT akan mengembangkan teknik pengembangbiakan fitoplankton yang disebut Foto Bio Reactor. Untuk itu akan dicari jenis fitoplankton yang memiliki pertumbuhan yang cepat, seperti Chaetoceros dan Skeletonema.

Menurut Rahmania, daya serap fitoplankton dibandingkan dengan rumput laut dalam kurun waktu yang sama lebih besar karena siklus hidup plankton lebih cepat. Dengan demikian prospeknya lebih baik dibandingkan dengan rumput laut.

Tujuan riset ini untuk mengetahui tingkat penyerapan CO2 dari spesies fitoplankton tersebut. "Dari kultur pada bioreaktor ini dapat diketahui spesies yang unggul," ujar Rahmania. Target selanjutnya adalah mengembangkan desain reaktor untuk mendapatkan siklus hidup fitoplankton yang lebih panjang. Selain itu dikembangkan tangki untuk panen.

Pembangunan pabrik skala laboratorium di Serpong yang melibatkan LIPI dan IPB akan dimulai Januari tahun depan dan diperkirakan akan mulai beroperasi Juni 2008.

Penelitian yang menyerap dana sekitar Rp 500 juta ini akan berlangsung hingga tahun 2010. Selanjutnya BPPT merencanakan pengembangan fitoplankton air tawar.

Pengembangan foto bioreaktor ini akan mengacu pada teknik yang dikembangkan di Jerman. Di Universitas Bremen bioreaktor yang diisi fitoplankton diterapkan untuk menyerap CO2 hasil pembakaran pada pembangkit listrik tenaga batubara.

Untuk kapasitas 5.000 ton per hari, CO2 yang diserap mencapai satu persennya. Pada tahap pertama daya serapnya 500 ton gas karbon per tahun. Pengembangan teknologi ini targetnya 15.000 ton CO2 per tahun.

Di Jerman, penggunaan fitoplankton pada bioreaktor diterapkan pada kendaraan disebut green box, untuk mereduksi emisi karbon dari knalpot.

Di Norwegia penyerapan karbon di perairan menggunakan kantong plastik hampa udara yang ditempatkan di permukaan laut, sedangkan di AS digunakan sistem pemompaan berdasarkan gelombang untuk membuat ledakan pertumbuhan fitoplankton. Hal ini membuat massa air naik buatan sehingga CO2 terserap.

Melihat prospek pemanfaatan sumber daya hayati kelautan yang cerah, maka Indonesia memiliki alternatif dalam upaya menyerap gas rumah kaca dan dapat berperan dalam menekan dampak perubahan iklim serta pemanasan global di masa mendatang.

"Saat ini serapan laut belum menjadi bagian yang diperhitungkan untuk mereduksi emisi gas karbon di udara. Pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup akan mengusulkan pembahasan hal itu dalam Working Group pada pertemuan tentang perubahan iklim di Bali," ujar Jana.

Sumber: Kompas Cyber Media

Senin, 23 Maret 2009

Artemia


Artemia
merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena Artemia memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan. Artemia dapat diterapkan di berbagai pembenihan ikan dan udang, baik itu air laut, payau maupun tawar.



Klasifikasi

Pitoyo (2004) menjelaskan bahwa Artemia terdiri dari beberapa strain, antara lain:

Artemia salina : Lymington
Artemia tunisiana : Eropa
Artemia franciscana : Amerika
Artemia persimialis : Argentina
Artemia urmiana : Iran
Artemia monica : California – USA


Sedangkan klasifikasi Artemia sp. menurut Bougis (1979) dalam Kurniastuty dan Isnansetyo (1995) adalah sebagai berikut:

Phylum: Anthropoda
Kelas: Crustacea
Subkelas: Branchiopoda
Ordo: Anostraca
Familia: Artemidae
Genus: Artemia
Spesies: Artemia salina

Morfologi

Kista Artemia sp. yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Larva artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius. Nauplius dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk, masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Pitoyo, 2004)

Pertama kali menetas larva artemia disebut Instar I.

Nauplius stadia I (Instar I) ukuran 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 15 mikrongram, berwarna orange kecoklatan. Setelah 24 jam menetas, naupli akan berubah menjadi Instar II, Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat saluran pencernakan dan dubur. Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius terbentuk sepasang mata majemuk. Bagian samping badannya mulai tumbuh tunas-tunas kaki, setelah instar XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi artemia dewasa (Proses instar I-XV) antara 1-3 minggu (Mukti, 2004).

Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami moulting. Artemia dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas tangkai mata pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan antena berubah menjadi alat penjepit (muscular grasper), sepasang penis terdapat pada bagian belakang tubuh. Pada jenis betina antena mengalami penyusutan.
Ekologi

Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 derajat celcius. Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 derajat celcius. Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Kurniastuty dan Isnansetyo, 1995).

Reproduksi

Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua cara, yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.

Penetasan cystae Artemia

Sutaman (1993) mengatakan bahwa penetasan cystae artemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio.

Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh cytae artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati, 2004).

Subaidah dan Mulyadi (2004) memberikan penjelasan langkah-langkah penetasan dengan cara dekapsulasi, sebagai berikut: 1. Cystae artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam; 2. Cystae disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih; 3. Cystae dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram cystae, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata; 4. Cystae segera disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap untuk ditetaskan; 5. Cystae akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang tidah menetas dengan naupli artemia.

Pramudjo dan Sofiati (2004) cystae hasil dekapsulasi dapat segera digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0 derajat celcius – (- 4 derajat celcius) dan digunakan sesuai kebutuhan.

Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan selaput. Pada saat ini panen segera akan dilakukan.

Pengayaan Artemia

Pengayaan (enrichment) artemia dengan menggunakan beberapa jenis pengkaya misalnya scout emultion, selco atau vitamin C dan B kompleks powder dilakukan selama 2 jam (Suriawan,2004).

Selanjutnya diperjelas oleh Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa pengayaan pakan alami menggunakan minyak ikan, minyak cumi-cumi, vitamin ataupun produk komersial lainnya membutuhkan waktu 2-4 jam untuk mendapatkan hasil yang baik. Artemia yang akan dilakukan pengayaan adalah yang baru menetas (nauplius) (Mukti, 2004).

BBAP Situbondo (2004) mencatat bahwa pemberian tambahan vitamin C dengan cara pengayaan dengan dosis 0,1 – 0,5 ppm pada media pengayaan artemia dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerapu. Syaprizal (2006) juga memperoleh hasil dengan pengayaan vitamin C sebanyak 2 mg/l ke artemia dapat meningkatkan kelulusan hidup benur udang windu dan diperoleh kemungkinan adanya kelulusan hidup lebih tinggi dengan penambahan dosis vitamin C.

Minggu, 22 Maret 2009

Ikan Ternyata Suka Cahaya Biru dan Merah

Mengenal Pemanfaatan Cahaya dalam Operasi Penangkapan Ikan
Ikan Ternyata Suka Cahaya Biru dan Merah
Oleh: Yudi Heriawan

Pernah dengar cahaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan? Cahaya biru cocok untuk orang yang sering gelisah karena sifatnya menenangkan, cahaya hijau cocok untuk orang yang sering sakit-sakitan karena sifatnya menyembuhkan, kalo pasutri yang hubungannya sudah hambar cocok menggunakan lampu kamar warna merah karena sifatnya membangkitkan gairah…..nah loh. Bagaimana dengan ikan, sama nggak ya!

Pemanfaatan cahaya untuk alat bantu penangkapan ikan dilakukan dengan memanfaatkan sifat fisik dari cahaya buatan itu sendiri. Masuknya cahaya ke dalam air, sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan.

Faktor lain yang juga menentukan masuknya cahaya ke dalam air adalah absorbsi (penyerapan) cahaya oleh partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis. Dengan adanya berbagai hambatan tersebut, maka nilai iluminasi (lux) suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut.

Dengan sifat-sifat fisik yang dimiliki oleh cahaya dan kecenderungan tingkah laku ikan dalam merespon adanya cahaya, nelayan kemudian menciptakan cahaya buatan untuk mengelabuhi ikan sehingga melakukan tingkah laku tertentu untuk memudahkan dalam operasi penangkapan ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya yang sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan untuk berkumpul di sekitar sumber cahaya.

Untuk tujuan menarik ikan dalam luasan yang seluas-luasnya, nelayan biasanya menyalakan lampu yang bercahaya biru pada awal operasi penanggkapannya. Hal ini disebabkan cahaya biru mempunyai panjang gelombang paling pendek dan daya tembus ke dalam perairan relatif paling jauh dibandingkan warna cahaya tampak lainnya, sehingga baik secara vertikal maupun horizontal cahaya tersebut mampu mengkover luasan yang relatif luas dibandingkan sumber cahaya tampak lainnya.

Setelah ikan tertarik mendekati cahaya, ikan-ikan tersebut kemudian dikumpulkan sampai pada jarak jangkauan alat tangkap (catchability area) dengan menggunakan cahaya yang relatif rendah frekuensinya, secara bertahap. Cahaya merah digunakan pada tahap akhir penangkapan ikan.

Berkebalikan dengan cahaya biru, cahaya merah yang mempunyai panjang gelombang yang relatif panjang diantara cahaya tampak, mempunyai daya jelajah yang relatif terbatas. Sehingga, ikan-ikan yang awalnya berada jauh dari sumber cahaya (kapal), dengan berubahnya warna sumber cahaya, ikut mendekat ke arah sumber cahaya sesuai dengan daya tembus cahaya merah. Setelah ikan terkumpul di dekat kapal (area penangkapan alat tangkap), baru kemudian alat tangkap yang sifatnya mengurung gerombolan ikan seperti purse seine, sero atau lift nets dioperasikan dan mengurung gerakan ikan. Dengan dibatasinya gerakan ikan tersebut, maka operasi penangkapan ikan akan lebih mudah dan nilai keberhasilannya lebih tinggi.

Jika anda ingin membuktikanya, silahkan datang ke dermaga penyeberangan feri pelabuhan Merak. Disana pasti akan ditemui nelayan yang menangkap cumi dengan menggunakan lampu petromak. Bila masih belum puas dan penasaran kalo cahaya mampu menarik perhatian ikan bahkan orang sekalipun, silahkan anda berkendaraan ke arah utara lagi – Pulorida, dijamin anda betah disana…..?! (Diolah dari berbagai sumber)